MOMO PROFIL

Selasa, 10 Juli 2012

Islam Dan Tantangan Modernitas

Islam Dan Tantangan Modernitas

Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang
bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia
(weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami
realitas.
Meski demikian, secara sosiologis, Iislam merupakan fenomena peradaban,
realitas sosial kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan
berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah
dalam partikularitas konteksnya.
Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi
penting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta
alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada
posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan
otentitasnya sebagai pedoman hidup.

Zaman Modern
Modern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah makna
obyektif modern. Secara subyektif makna modern terkait erat dengan konteks
ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid melihat zaman
modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelah
melalui zaman pra-sejarah dan zaman agraria di Lembah Mesopotamia (bangsa
Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia memasuki tahapan zaman
baru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat laut sekitar dua
abad yang lalu (Majid; 2000, 450)
Zaman baru ini, menurut Arnold Toynbee seperti yang dikutip oleh
Majid, dimulai sejak menjelang akhir abad ke 15 M ketika orang Barat
berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri karena
telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan.
Zaman modern merupakan hasil dari kemajuan yang dicapai masyarakat Eropa
dalam sains dan teknologi. Pencapaian tersebut berimbas pada terbukanya
selubung kesalahan dogma gereja setelah manusia berhasil mengenal hukum-
hukum alam dan menguasainya. Pengetahuan tersebut menjadi kritik terhadap
gereja dan berujung pada sikap anti gereja. Maka, di era ini, manusia
menjadi penguasa atas diri dan hidupnya sendiri. Doktrin teosentris
(kekuasaan Tuhan) yang dihegemonikan gereja selama abad pertengahan diganti
dengan doktrin manusia sebagai pusat kehidupan (antroposentrisme).
Sebagai kritik atas masa lalu, zaman modern banyak memutus nilai-nilai dan
jalan hidup tradisional dan digantikan dengan nilai-nilai baru berdasar
sains yang dicapai manusia. Di era ini manusia mencipta pola hidup baru
yang berbeda dengan era sebelumnya. Tentang hal ini David Kolb
menyatakan “we are developing something new in history” (Kolb; 1986, 2)
Kepercayaan diri manusia modern membuat banyak dari mereka yang
mengasumsikan zaman modern sebagai puncak perkembangan sejarah
kemanusiaan. August Comte, salah seorang ilmuan positivis, mengakui bahwa
sejarah peradaban manusia mengalami tiga tahap perkembangan; 1) teologis,
dimana manusia memahami alam sebagai hasil campur tangan Tuhan. Tahap ini
terbagi dalam tiga sub: animisme, politeisme, dan monoteisme. 2)
metafisika. Pada tahap ini peran Tuhan di alam digantikan oleh prinsip-
prinsip metafisika, seperti kodrat. Dan tahap terakhir 3) adalah positif.
Tahap ini diwarnai oleh keyakinan yang cukup besar pada kemampuan sains dan
teknologi. Manusia tidak lagi mencari sebab absolut ilahiah dan berpaling
pada pemahaman hukum-hukum yang menguasai alam.(Donny Gahral Adian; 2002,
65-66).
Penguasaan atas sains dan teknologi membawa bangsa-bangsa Eropa ke
arah kemajuan luar biasa hingga mampu menandingi dan menguasai bangsa-
bangsa Islam. Kolonialisasi menjadi pilihan yang diambil bangsa-bangsa
penguasa baru tersebut. Kolonialisme dilakukan bukan hanya dengan senjata
mesin, tetapi juga tata nilai, ideologi dan kultur. Maka, terjadilah
pergesekan antara nilai baru yang dibawa oleh bangsa kolonial dengan kultur
asli bangsa muslim.

Tantangan ModernitasPergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam
melahirkan upaya-upaya pembaharuan terhadap tradisi yang ada. Harun
Nasution menyebut upaya tersebut sebagai gerakan pembaruan Islam, bukan
gerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme memiliki konteksnya
sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat bertujuan menggantikan ajaran
agama Katolik dengan sains dan filsafat modern. Gerakan ini berpuncak pada
proses sekularisasi dunia Barat (Nasution; 1975, 11).
Berbeda dengan Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah
modern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan
Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia
Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan
muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan
sekularisasi seperti pada kasus Turki (Azra; 1996, xi)
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna
subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna
obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat
tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola
hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat
obyek ekspansi.
Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yang
diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, di
segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi
yang pegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini
kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan.
Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan
tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi
faktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang
menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan membersihkan praktek-
praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak islami.

Islam Dan Perubahan
Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam
dengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika
upaya tersebut berhsil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses
tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.
Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat
terulang kembali dalam konteks yang berbeda, dunia Islam.
Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut.
Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga
agama monoteis; Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat
dengan modernitas. Ini karena ajaran Islam tentang universalisme,
skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh
siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci
dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secara
luas (Islam mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual
(tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi
rasional kehidupan sosial (Majid, 467)
Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni
dengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi
tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama rabbaniyah
(bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), insaniyah (sesuai dengan
fitrah dan demi kepentingan manusia), wasthiyyah (moderat-mengambil jalan
tengah), waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara perubahan dan
ketetapan (Qardhawi; 1995).

Pembaruan Islam
Meski Islam potensial menghadapi perubahan, tetapi aktualitas
potensi tersebut membutuhkan peran pemeluknya. Ketidakmampuan pemeluk Islam
dapat berimbas pada tidak berkembangnya potensi yang ada. Ungkapan yang
sering dipakai para pembaru Islam untuk menggambarkan hal ini adalah “al-
Islam mahjub bi al-muslimin”.
Dalam mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islam
difasilitasi dengan intitusi tajdid (pembaruan, modernisasi). Ada dua model
tajdid yang dilakukan kaum muslim: seruan kembali kepada fundamen agama (al-
Qur’an dan hadith), dan menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model ini
merupakan respons terhadap kondisi internal umat Islam dan tantangan
perubahan zaman akibat modernitas. Model pertama disebut purifikasi, upaya
pemurnian akidah dan ajaran Islam dari percampuran tradisi-tradisi yang
tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua disebut dengan pembaruan
Islam atau modernisme Islam (Achmad Jainuri; 1995, 38).
Di sini, Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasul
pasca Muhammad SAW. bukan berarti tiadanya pihak-pihak yang akan menjaga
otentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika sebelum Muhammad SAW.
peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan selalu dilaksanakan oleh
nabi atau rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil alih oleh
umat Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa ulama`
merupakan pewarisnya, dan di lain kesempatan ia menyatakan akan hadirnya
mujaddid di setiap seratus tahun.
Dalam proses tersebut, setiap ajaran Islam mengalami pembaruan yang
berbeda-beda, bahkan ada yang tidak boleh disentuh sama sekali. Aqidah dan
ibadah merupakan domain yang sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yang
bisa dilakukan dalam kedua wilayah tersebut adalah pembersihan dari aspek-
aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlaku
kaidah "semua dilarang kecuali yang diperintah".
Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan
wilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai-
nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara pandang) kehidupan.
Ajaran Islam menyediakan pedoman-pedoman dasar yang harus diterjemahkan
pemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu yang melingkupinya. Pada
wilayah ini yang berlaku adalah kaidah "semua dibolehkan kecuali yang
dilarang".
Menurut Kuntowijoyo (Kuntowijoyo; 1997, 170) penerjemahan nilai-
nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yang
pertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke wilayah praktis. Ilmu fiqh
merupakan salah satu perwujudan yang pertama ini. Sementara yang kedua
berangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui proses filsafat
sosial dan teori sosial terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori
sosial). Sebagai contoh adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak akan
merubah suatu kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilai
perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial,
kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan
sosial.
Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadaap
kemampuan manusia. Batas-batas yang ada dalam proses tajdid bukan merupakan
pengekangan terhadap kemampuan manusia, tetapi sebagai media mempertahankan
otentisitas risalah kenabian. Ketika agama hanya menghadirkan aspek-aspek
yang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang terjadi adalah
ketidakmampuan agama mempertahankan diri menghadapi zaman. Akibatnya, agama
akan kehilangan relevansinya. Ini seperti yang terjadi pada gereja di abad
pertengahan.
Sebaliknya, jika aspek-aspek yang tetap, abadi dan tidak berubah
tersebut tidak ada dalam agama, maka agama akan kehilangan otentitasnya
sebagai pedoman hidup manusia. Di sinilah, kekhasan Islam seperti yang
disebut Qardhawi di atas berperan. Islam berdiri di tengah-tengah. Islam
mengandungi ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan keluwesan-keluwesan di
sisi lainnya. Dengan sikap terebut Islam bisa tetap eksis di tengah
perubahan zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama ilahiah.
Gagasan pembaharuan Islam dapat dilacak di era pra-modern pada
pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-8 H/13-14 M). Taymiyah banyak mengkritik
praktek-praktek islam populer yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan
menyerukan kembali kepada syariat. Gerakan lain dilakukan oleh Muhammad
Abdul Wahab di Arabia pada abad ke 18 M yang menolak dengan keras tradisi
yang tidak Islami (Jainuri; 2002, 15-17).
Jika pembaharuan pra-modern dilakukan sebagai otokritik praktek
keagamaan populer masyarakat muslim, pembaruan era modern merupakan respons
umat Islam terhadap tantangan yang ditawarkan oleh modernitas Barat. Di era
ini tercatat beberapa tokoh yang cukup populer seperti al-Afghani, Abduh,
Rasyid Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal, dll.
Proses pembaharuan era modern mengalami dinamikaa yang cukup
kompleks. Keinginan harmonisasi Islam dengan modernitas melahirkan banyak
pemikir dengan karakteristik yang berbedaa-beda. Sebagian pemikir tampak
wajah puritanismenya, dan sebagian yang lain condong pada modernitas,
bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai modern (seperti sekularisme).

Penutup
Modernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-
negatifnya, menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengah
kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras
mengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya.
Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan ajaran Islam menjadi
pilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam. Upaya
tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan cost
yang besar. Wallahu a`lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar