Abstrak
Konflik dan pertikaian yang menggunakan ‘baju
agama’, sering terjadi aksi-aksi teroris, pembakaran dan pengrusakan sarana dan
tempat-tempat ibadah di negara kita, masih saling curiga mencurigai antara umat
Islam dan Kristen serta kepada agama-agama lainya, cukup membuktikan kegagalan
proses pendidikan agama selama ini. Walaupun sudah banyak para ‘ahli dan pemuka
agama’ telah berusaha dengan segala cara demi terciptanya hubungan yang mesra
dan harmonis diantara umat beragama, di negeri Indonesia yang terkenal sangat
pluralistik ini.
Untuk memperoleh keberhasilan bagi terealisasinya
tujuan mulia yaitu perdamaian dan persaudaraan abadi di antara orang-orang yang
pada realitasnya memang memiliki agama dan iman berbeda, perlulah kiranya
adanya keberanian mengajak mereka melakukan perubahan-perubahan di bidang
pendidikan—terutama sekali melalui kurikulumnya yang berbasis keanekaragaman..
Inovasi dan pengembangan kurikulum Pendidikan
Agama perlu dilakukan karena sifat kurikulum yang dinamis, selalu berubah,
menyesuaikan diri dengan kebutuhan yang belajar.
Karena lingkungan belajarnya adalah masyarakat
yang pluralistik, maka pembaharuan dan pengembangkan kurikulum PAI harus
berbasis keanekaragaman dengan menampilkan wajah Islam toleran. Pengembangan
dan inovasi kurikulum ini dapat dijelaskan dari sudut pandang filsafat
perenialisme, esensialisme dan progresifisme.
Dari sinilah sangat memungkinkan untuk
mengajarkan prinsip –prinsip ajaran Islam yang humanis, demokratis dan
berkeadilan kepada peserta didik. Sebuah prinsip-prinsip ajaran Islam yang
sangat relevan untuk memasuki masa depan dunia yang ditandai dengan adanya
keanekaragaman budaya dan agama.
Kata Kunci : Inovasi, Kurikulum,
Pendidikan, Pluralisme, Inklusif, Humanis
BAB
I
PENDAHULUAN
Era sekarang adalah era
multikulturalisme dan pluralisme, dimana seluruh masyarakat dengan segala
unsurnya dituntut untuk saling tergantung dan menanggung nasib secara
bersama-sama demi terciptanya perdamaian abadi. Salah satu bagian penting dari
konsekuensi tata kehidupan global yang ditandai kemajemukan etnis, budaya, dan
agama tersebut, adalah membangun dan menumbuhkan kembali teologi pluralisme
dalam masyarakat.
Demi tujuan itu, maka
pendidikan sebenarnya masih dianggap sebagai instrumen penting. Sebab,
“pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam
membentuk karakter individu-individu yang dididiknya, dan mampu menjadi
“guiding light” bagi generasi muda penerus bangsa. Dalam konteks inilah,
pendidikan agama sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif
dan pluralis, demi harmonisasi agama-agama (yang telah menjadi kebutuhan
masyarakat agama sekarang).
Hal tersebut dengan suatu
pertimbangan, bahwa salah satu peran dan fungsi pendidikan agama diantaranya
adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama
sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan
mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi (Sealy,
1986: 43-44). Ini artinya, pendidikan agama pada prinsipnya, juga ikut andil
dan memainkan peranan yang sangat besar dalam menumbuh-kembangkan sikap-sikap
pluralisme dalam diri siswa.
Apalagi, kalau mencermati
pernyatan yang telah disampaikan oleh Alex R. Rodger (1982: 61) bahwa
“pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan
berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang dibutuhkan bagi
orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi
keimanan bagi mereka”. Artinya pendidikan agama adalah sebagai wahana untuk
mengekplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara
khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat.
Pendidikan agama dengan begitu, seharusnya mampu merefleksikan persoalan
pluralisme, dengan mentransmisikan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap
toleran, terbuka dan kebebasan dalam diri generasi muda.
Untuk membangun dan menumbuh
kembangkan teologi pluralisme dalam masyarakat, maka inovasi dan pengembangan
kurikulum Pendidikan Agama perlu dilakukan karena sifat kurikulum yang dinamis,
selalu berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan yang belajar. Mereka yang
belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan kurikulum ialah
penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang kita hadapi,
termasuk situasi lingkungan belajar dalam artian menyeluruh, situasi peserta
didik, dan para calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan (h.21-30)
Almarhum Prof. S. Nasution
mengetengahkan empat faktor, landasan ataupun azas utama yang selalu mengambil
peran dalam pengembangan kurikulum, yakni: pertama, azas filosofis,
termasuk filsafat bangsa, masyarakat dan sekolah serta guru-guru; kedua,
azas sosiologis, menyangkut harapan dan kebutuhan masyarakat (orangtua,
kebudayaan, masyarakat, pemerintah, ekonomi); ketiga, azas psikologis
yang terkait dengan taraf perkembangan fisik, mental, emosional dan spiritual
anak didik; keempat, azas epistemologis, berkaitan dengan konsep kita
mengenai hakekat ilmu pengetahuan
Melalui pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam berbasis kemajemukan akan dapat dijadikan sebagai
jawaban atau solusi alternatif bagi keinginan untuk merespon
persoalan-persoalan di atas. Sebab dalam pendidikanya, pemahaman Islam yang
hendak dikembangkan oleh pendidikan berbasis pluralisme adalah pemahaman dan
pemikiran yang bersifat inklusif.
Melalui sistem pendikikanya,
sebuah pendidikan yang berbasis pluralisme akan berusaha memelihara dan
berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan
suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan
pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama
lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kegagalan Pendidikan Agama
Persoalan SARA yang muncul di
wilayah Indonesia akhir-kahir merupakan akumulasi dari kegagalan agama dalam
memainkan perannya sebagai problem solver bagi persoalan tersebut. Persoalan
tersebut muncul erat kaitanya dengan pengajaran agama secara eklusif. Maka,
agar bisa keluar dari kemelut yang mendera bangsa Indonesia terkait persoalan
SARA, maka sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk memunculkan wajah
pendidikan agama yang inklusif dan humanis.
Pada tataran teologis, dalam
pendidikan agama perlu mengubah paradigma teologis yang pasif, tektualis, dan
eklusif. Menuju teologi yang saling menghormati, saling mengakui
eksistensi, berfikir dan bersikap positif, serta saling memperkaya iman. Hal
ini dengan tujuan untuk membangun interaksi umat beragama dan antarumat
beragama yang tidak hanya berkoeksistensi secara harmonis dan damai, tetapi
juga bersedia aktif dan pro-aktif kemanusiaan. adalah suatu realita bahwa
bangsa kita adalah bangsa dengan berbagai keragaman sosial, budaya, ekonomi,
dan aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi masyarakat. Namun keragaman
tersebut seharusnya menjadi faktor yang diperhitungkan dalam penentuan
filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan
pelaksanaan kurikulum, nampaknya belum dijadikan sebagai faktor yang harus
dipertimbangkan dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan di negara kita” (Hasan,
2000: 511). Maka, akibatnya, wajar manakala terjadi kegagalan dalam
pendidikannya (termasuk pendidikan agama), terutama sekali dalam menumbuhkan
sikap-sikap untuk menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat.
Selain itu, Kautsar Azhari Noer
(2001) menyebutkan, ada empat faktor penyebab kegagalan pendidikan agama dalam
menumbuhkan pluralisme. Pertama, penekananya pada proses transfer ilmu agama
ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak
didik; kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai
“hiasan kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah
mata; ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang
mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka
menolong, suka damai dan toleransi; dan keempat, kurangnya perhatian untuk
perhatikan untuk mempelajari agama-agama lain (Noer dalam Sumartana, 2001:
239-240)
Melihat realitas tersebut,
bahkan ditambah dengan adanya banyak konflik, kekerasan, dan bahkan kekejaman
yang dijalankan atas nama agama, sebagaimana tersebut di atas, seharusnyalah
yang menjadi tujuan refleksi atas pendidikan agama adalah mampu melakukan
transformasi kehidupan beragama itu sendiri dengan melihat sisi ilahi dan
sosial-budayanya. Pendidikan agama harus mampu menanamkan cara hidup yang lebih
baik dan santun kepada peserta didik. Sehingga sikap-sikap seperti saling
menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya dapat
tercapai di tengah-tengah masyarakat plural.
B.
Prinsip kerja Pengembangan Kurikulum PAI
Jika pengembangan kurikulum
pendidikan Agama penting untuk dikerjakan, maka pertanyaan sekarang ialah:
Bagaimanakah prinsip kerja kita dalam mengembangkan kurikulum itu? Meminjam
pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata, ada dua prinsip yang dikemukakan di sini.
Pertama, prinsip umum. Kedua, prinsip khusus.
Yang dimaksud dengan prinsip
umum ini ialah:
1) Prinsip
relevansi. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan harus relevan dengan
kebutuhan peserta didik
2) Prinsip
fleksibilitas. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan perlu bersifat
adaptif, mampu menyesuaikan diri dengan konteks pembelajaran. Pertimbangan
konteks di sini mencakup aspek ruang dan waktu, sosial, budaya dan dinamika
keagamaan.
3) Prinsip
kontinuitas. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan harus memungkinkan
peserta didik lebih sanggup mengembangkan potensinya kelak dalam rencana
belajar berikutnya (prinsip belajar sepanjang hayat).
4) Prinsip
praktis. Kurikulum sebaiknya mudah digunakan dengan alat sederhana dan biaya
relatif murah,
5) Prinsip
efektivitas. Efektivitas sebuah kurikulum harus dilihat dari sejauhmana
perubahan hidup dialami oleh peserta didik, sebagaimana nampak dalam kehidupan
dan karya pelayanannya.
Kedua, prinsip khusus, yang
terkait dengan sejumlah komponen dari kurikulum itu sendiri, yakni tujuan, isi
atau bahan pengajaran, metode pembelajaran, media dan alat pembelajaran serta
kegiatan evaluasi pembelajaran. Jadi, kurikulum bukan hanya daftar mata
pelajaran atau pokok-pokok pengajaran. Lebih dari itu. Bagaimanakah kita
mengembangkan.
C.
Islam Dan Pluralisme
Islam memerintahkan kepada
umatnya untuk dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi dan
dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat
intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya
(QS al-Ankabut/29: 46), tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice
atau kecurigaan di antara mereka. Dalam Islam berteologi secara inklusif
dengan menampilkan wajah agama secara santun dan ramah sangat dianjurkan.
Dalam kaitannya yang langsung
dengan prinsip untuk dapat menghargai agama lain dan dapat menjalin
persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’ inilah Allah, di dalam al-Qur’an,
menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan
yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang
disampaikanya, sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya
manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa
manusia, di luar kesediaan mereka sendiri? (Q.S. Yunus: 99).
Dari ayat tersebut tergambar
dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi “tanggungjawab”
Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap orang yang tidak satu
dengan keyakinan kita. Bahkan nabi sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir
untuk masuk Islam. Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan “kita” menunjukkan
sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang lain dalam
beragama.
Sedangkan secara umum,
pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat
kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan
peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial,
kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck (2000: 206-207)), telah
menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut;
Pertama, Ahli
Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan
kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat
yang satu” (QS al-Mu’miunun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para
pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan
tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan
memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kedua, dalam dua
bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an
terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan
sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka
(QS al-Maidah: 5). Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita
suci dari Ahli Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup
berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan
perkawinan, ini menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap
sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain.
Ketiga, dalam bidang
hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS
al-Maidah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk
menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat,
kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya ditegaskan oleh
fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata
dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan sekiranya Allah
tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog orang
Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah” (QS
al-Hajj: 40).
Perintah untuk bersikap
toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama
lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal
agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari
jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang
dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada
kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan
ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah
agamamu dan bagiku agamaku.
Konsepsi pluralisme dalam Islam
sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap
seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua
orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada
sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut
kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna min lisanihi wa
yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap
damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.
D.
Perlunya Pendidikan Pluralisme
Pencarian bentuk pendidikan
alternatif yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya
kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan
antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap
saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialogmutlak diperlukan..
Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli”
dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang
kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan pluralisme”.
Pendidikan pluralisme atau
sering dikenal orang dengan sebutan “pendidikan multikultural”. dalam
pengertian Sleeter (dalam Burnet, 1991: 1) Adalah pendidikan multikultural
sebagai any set of proces by which schools work with rather than against
oppressed group. Banks, dalam bukunya Multicultural education:
historical development, dimension, and practice (1993) menyatakan bahwa
meskipun tidak ada konsensus tentang itu ia berkesimpulan bahwa di antara
banyak pengertian tersebut maka yang dominan adalah pengertian pendidikan
multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Secara sederhana pendidikan
pluralisme dapat didefenisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman
keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan
disini, dituntut untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi
sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
E.
Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Berbasis Kemajemukan
Pendidikan adalah salah satu
bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat
perkembangan, karena itu perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang
memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perbaikan
pendidikan ini mengandung konsekuensi akan adanya penyempurnaan atau perbaikan
kurikulum pendidikan agama Islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi
kebutuhan dan tantangan masa depan dengan diselaraskan terhadap perkembangan
kebutuhan dunia usaha atau industri, perkembangan dunia kerja, serta
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Konsep yang sekarang banyak
diwacanakan oleh banyak ahli adalah kurikulum pendidikan berbasis pluralisme.
Konsep pendidikan pluralisme
adalah pendidikan yang berorientasi pada realitas persoalan yang sedang
dihadapi bangsa Indonesia dan umat manusia secara keseluruhan. Pendidikan
pluralisme digagas dengan semangat besar “untuk memberikan sebuah model
pendidikan yang mampu menjawab tantangan masyarakat pasca modernisme”.
Pendidikan Islam berbasis
pluralisme mempunyai beberapa karakter sebagai berikut;
pertama pendidikan
Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan
Islam.
Kedua ; Pendidikan
Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang berbasis pada
pluralitas..
Ketiga; Pendidikan
Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang menghidupkan
sistem demokrasi dalam pendidikan.
Perlunya membentuk pendidikan
Islam berbasis pluralisme tersebut, sekali lagi merupakan suatu inisiasi yang
lahir dari realitas sejarah pendidikan khususnya di Indonesia yang dianggap
gagal dalam membangun citra kemanusiaan.
Untuk merealisasikan cita-cita
pendidikan yang mencerdaskan seperti tersebut, lembaga pendidikan Islam perlu
menerapkan sistem pengajaran yang berorientasi pada penanaman kesadaran
pluralisme dalam kehidupan. Adapun beberapa program pendidikan yang sangat
strategis dalam menumbuhkan kesadaran pluralisme adalah: pendidikan
sekolah harus membekali para mahasiswa atau peserta didik dengan kerangka (frame
work) yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang
diperoleh dari lingkunganya (UNESCO, 1981).
Karena masyarakat kita majemuk,
maka kurikulum PAI yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses
siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan
hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda
yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam
suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
Selain itu, perlu kiranya
memperhatikan kurikulum sebagai proses. Ada empat hal yang perlu diperhatikan
guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses ini, yaitu; (1) posisi siswa
sebagai subjek dalam belajar, (2) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar
belakang budayanya, (3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi
siswa adalah entry behaviour kultur siswa, (4) lingkungan budaya siswa
adalah sumber belajar (Hamid, op cit: 522). Dalam konteks deskriptif
ini, kurikulum pendidikan mestilah mencakup subjek seperti: toleransi,
tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi:
penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan
universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Bentuk kurikulum dalam
pendidikan agama Islam hendaknya tidak lagi ditujukan pada siswa secara
individu menurut agama yang dianutnya, melainkan secara kolektif dan
berdasarkan kepentingan bersama. Bila selama ini setiap siswa memperoleh
pelajaran agama sesuai dengan agamanya, maka diusulkan agar lebih baik bila
setiap siswa SLTP-PT memperoleh materi agama yang sama, yaitu berisi tentang
sejarah pertumbuhan semua agama yang berkembang di Indonesia. Sedangkan untuk
SD diganti dengan pendidikan budi pekerti yang lebih menanamkan nilai-nilai
moral kemanusiaan dan kebaikan secara universal. Dengan materi seperti itu, di
samping siswa dapat menentukan agamanya sendiri (bukan berdasarkan keturunan),
juga dapat belajar memahami pluralitas berdasarkan kritisnya, mengajarkan
keterbukaan, toleran, dan tidak eklusif, tapi inklusif (Darmaningtyas, 1999:
165).
Amin Abdullah (2001: 13-16)
menyarankan “perlunya rekontruksi pendidikan sosial-keagamaan untuk memperteguh
dimensi kontrak sosial-keagamaan dalam pendidikan agama”. Dalam hal ini, kalau
selama ini praktek di lapangan, pendidikan agama Islam masih menekankan sisi
keselamatan yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan
kelompoknya sendiri—jadi materi pendidikan agama lebih berfokus dan sibuk
mengurusi urusan untuk kalangan sendiri (individual atau private
affairs). Maka, pendidikan agama Islam perlu direkontruksi kembali, agar
lebih menekankan proses edukasi sosial, tidak semata-mata individual dan untuk
memperkenalkan konsep social-contract. Sehingga pada diri peserta
didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua sejak semula memang
berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman, credo,
tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan kehidupan
bersama, mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerjasama (cooperation) dalam
bentuk kontrak sosial antar sesama kelompok warga masyarakat.
Pendek kata, agar maksud dan
tujuan pendidikan agama Islam berbasis pluralisme dapat tercapai, kurikulumnya
harus didesain sedemikian rupa dan favourable untuk semua
tingkatan dan jenjang pendidikan. Namun demikain, pada level sekolah dasar dan
menengah adalah paling penting, sebab pada tingkatan ini, sikap dan perilaku
peserta didik masih siap dibentuk. Dan perlu diketahui, suatu kurikulum tidak
dapat diimplementasikan tanpa adanya keterlibatan, pembuatan dan kerjasama
secara langsung antara para pembuat kurikulum, penulis text book dan
guru.
Langkah-langkah yang perlu
diperhatikan untuk mengembangkan kurikulum PAI berbasis pluralisme di
Indonesia, adalah sebagai berikut;
Pertama, mengubah
filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam kepada filosofi yang lebih sesuai
dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
Kedua, kurikulum harus
yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula
nilai, moral, prosedur, dan ketrampilan yang harus dimiliki generasi muda.
Ketiga, teori belajar
yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial,
budaya, ekonomi, dan politik.
Keempat, proses
belajar yang dikembangkan harus berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism
yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan
siswa belajar individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara
belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif.
Kelima, evaluasi yang
digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta
didik, penggunaan alternatif assesment (portfolio, catatan, observasi,
wawancara) dapat digunakan.
Di samping perlunya memperhatikan
langkah-langkah itu, untuk menuju sebuah PAI yang menghargai pluralisme,
sebenarnya selain aspek kurikulum yang harus didesain, sebagaimana telah
penulis uraikan, aspek pendekatan dan pengajaran harus pula di perhatikan.
Pola-pola lama dalam pendekatan atau pengajaran agama harus segera dirubah
dengan model baru yang lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus
menjadi titik tekan dari setiap pendidik.
H.
Menampilkan Islam Toleran
Melalui Kurikulum
Mengembangkan sikap pluralisme pada
peserta didik di era sekarang ini, adalah mutlak segera “dilakukan” oleh
seluruh pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama
Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui
kurikulum pendidikanya dengan tujuan dan menitikberatkan pada pemahaman dan
upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara
individual maupun secara kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan
eklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit. Sehingga sikap-sikap
pluralisme itu akan dapat ditumbuhkembangkan dalam diri generasi muda kita
melalui dimensi-dimensi pendidikan agama dengan memperhatikan hal-hal seperti
berikut:
- Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaron. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
- Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam . Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama. karena memang pada kenyataanya “Di Luar Islampun Ada Keselamatan”.
- Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama.
- Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti spiritual work camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.
- Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan.
Selain beberapa hal di atas,
perlu kiranya mengajarkan materi Aqidah Inklusif. Sebagaimana
telah banyak diketahui umat Islam, aqidah berasal dari bahasa Arab yang berarti
“kepercayaan”, maksudnya ialah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang beragama.
Dalam Islam, aqidah selalu berhubungan dengan iman. Aqidah adalah ajaran
sentral dalam Islam dan menjadi inti risalah Islam melalui Muhammad. Tegaknya
aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat
menerangkan bahwa orang itu memiliki akidah. Masalahnya karena iman itu bersegi
teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup
dan kehidupan sehari-hari, terkadang menimbulkan “problem” tersendiri ketika
harus berhadapan dengan “keimanan” dari orang yang beragama lain. Apalagi
persoalan iman ini, juga merupakan inti bagi semua agama, jadi bukan hanya
milik Islam saja. Maka, tak heran jika kemudian muncul persoalan truth
claim dan salvation claim diantara agama-agama, yang sering
berakhir dengan konflik antar agama.
Untuk mengatasi persoalan
seperti itu, pendidikan agama Islam melalui ajaran aqidahnya, perlu menekankan
pentingnya “persaudaraan” umat beragama. Pelajaran aqidah, bukan sekedar
menuntut pada setiap peserta didik untuk menghapal sejumlah materi yang
berkaitan denganya, seperti iman kepada Allah swt, nabi Muhamad saw, dll.
Tetapi sekaligus, menekankan arti pentingya penghayatan keimanan tadi dalam
kehidupan sehari-hari. Intinya, aqidah harus berbuntut dengan amal perbuatan
yang baik atau akhlak al-Karimah pada peserta didik. Memiliki akhlak
yang baik pada Tuhan, alam dan sesama umat manusia.
Pendidikan Islam harus sadar,
bahwa kerusuhan-kerusuhan bernuasan SARA seperti yang sering terjadi di
Indonesia ini adalah akibat ekspresi keberagamaan yang salah dalam masyarakat
kita, seperti ekspresi keberagamaan yang masih bersifat ekslusif dan monolitik
serta fanatisme untuk memonopoli kebenaran secara keliru. Celakanya, ekspresi
keagamaan seperti itu merupakan hasil dari “pendidikan agama”. Pendidikan agama
dipandang masih banyak memproduk manusia yang memandang golongan lain (tidak
seakidah) sebagai musuh. Maka di sinilah perlunya menampilkan pendidikan
agama yang fokusnya adalah bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid,
melainkan juga akhlak sosial dan kemanusiaan.
Pendidikan agama, merupakan
sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah
inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah
menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru
pendidikan agama dengan peserta didik berbeda agama, dapat dijadikan sarana
untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing
sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain.
Target kurikulum Agama
Islam harus berorientasi pada akhlak. Bahkan dalam pengajaran akidahnya, kalau
perlu semua peserta didik disuruh merasakan jadi orang yang beragama lain atau
atheis sekalipun. Tujuanya adalah bukan untuk “konfersi”, melainkan dalam
rangka agar mereka mempertahankan iman. Sebab, akidah itu harus dipahami
sendiri, bukan dengan cara taklid, taklid tidak dibenarkan dalam persoalan
akidah. Selain itu, pada masalah-masalah syari’ah. Dalam persoalan syariah,
sering umat Islam juga berbeda pendapat dan bertengkar. Maka dalam hal ini
pendidikan Islam perlu . memberikan pelajaran “fiqih muqarran”untuk memberikan
penjelasan adanya perbedaan pendapat dalam Islam dan semua pendapat itu
sama-sama memiliki argumen, dan wajib bagi kita untuk menghormati. Sekolah
tidak menentukan salah satu mazhab yang harus diikuti oleh peseta didik,
pilihan mazhab terserah kepada mereka masing-masing.
Melalui suasana pendidikan
seperti itu, tentu saja akan terbangun suasana saling menenami dalam kehidupan
beragama secara dewasa, tidak ada perbedaan yang berarti diantara
“perbedaan”manusia yang pada realitasnya memang berbeda. Tidak dikenal superior
ataupun inferior, serta memungkinkan terbentuknya suasana dialog yang
memungkinkan untuk membuka wawasan spritualitas baru tentang keagamaan dan
keimanan masing-masing.
Pendidikan Islam harus
memandang “iman”, yang dimiliki oleh setiap pemeluk agama, bersifat dialogis
artinya iman itu bisa didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara sesama
manusia. Iman merupakan pengalaman kemanusiaan ketika berintim dengan-Nya
(dengan begitu, bahwa yang menghayati dan menyakini iman itu adalah manusia,
dan bukanya Tuhan), dan pada tingkat tertentu iman itu bisa didialogkan oleh
manusia, antar sesama manusia dan dengan menggunakan bahasa manusia.
Tujuan untuk menumbuhkan saling
menghormati kepada semua manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab berbeda
dalam beragama, salah satunya bisa diajarkan lewat pendidikan akidah yang
inklusif. Dalam pembelajaranya, tentu saja memberikan perbandingan dengan
akidah yang dimiliki oleh agama lain (perbandingan agama). Meminjam bahasanya
Alex Roger (1982: 61-62), pendidikan akidah seperti itu mensyaratkan adanya fairly
and sensitively dan bersikap terbuka (open minded). Tentu saja,
pengajaran agama seperti itu, sekaligus menuntut untuk bersikap “objektif”
sekaligus “subjektif”. Objektif, maksudnya sadar bahwa membicarakan
banyak iman secara fair itu tanpa harus meminta pertanyaan mengenai benar atau
validnya suatu agama. Subjektif berarti sadar bahwa pengajaran seperti itu
sifatnya hanyalah untuk mengantarkan setiap peserta didik memahami dan
merasakan sejauh mana keimana tentang suatu agama itu dapat dirasakan oleh
orang yang mempercayainya.
Melalui pengajaran akidah
inklusif seperti itu, tentu saja bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan,
apalagi keseragaman, karena hal itu adalah sesuatu yang absurd dan agak
mengkhianati tradisi suatu agama. yang dicari adalah mendapatkan titik-titik
pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. setiap
agama mempunyai sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang
dibanggakan penganut suatu agama, serta yang akan menjadikan mereka tetap
bertahan, jika mereka mencari dasar rasional atas keimanan mereka. Akan tetapi,
agama juga mempunyai sisi real, yaitu suatu agama menyejarah dengan keagungan
atau kesalahan-kesalahan yang biasa dinilai dari sudut pandang sebagai sesuatu
yang memalukan. Oleh karena itu, suatu dialog dalam perbandingan agama harus
selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal
yang dimiliki agama lain yang hendak dibandingkan, dan realitas agama—baik yang
agung atau yang memalukan—dengan realitas agama lain yang agung atau memalukan
itu dengan demikian, akan dapat terhindar dari suatu penilai stndar ganda dalam
melihat agama lain.
BAB III
KESIMPULAN
Inovasi dan pengembangan
kurikulum dalam pendidikan Agama Islam merupakan kebutuhan yang terus harus
kita perhatikan. Strategi yang lebih baik lagi dalam pengembangan ini ialah
kebersamaan dari semua fihak untuk mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang
sudah ditempuh, kemudian bersama-sama berunding mengusulkan pendapat bagaimana
melakukan pembaruan.
Kalau tujuan akhir pendidikan
adalah perubahan perilaku dan sikap serta kualitas seseorang, maka pengajaran
harus berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memberi informasi atau
pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, sehingga akan mendorongnya dapat
mengambil keputusan untuk berubah. Pendidikan agama Islam, dengan demikian, di
samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada agamanya, juga harus
diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan solidaritas terhadap
sesama.
Maka, semua materi buku-buku
yang diajarkannya tentunya harus menyentuh tentang isu pluralitas. Dari
sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya untuk menyusun bentuk kurikulum
pendidikan agama berbasis pluralisme agama.
DAFTAR PUSTAKA
Afifi,
al-Hadi, Muhammad, (1964), al-Tarbiyah wa al-Taghoyyur al-Tsaqafi, Kairo:
Maktabah Angelo al-Mishriyyah.
Allen,
Dougles, 1978, Structure and Creativity in Religion. The Houge the
Netherlands: Mountan Publisher.
Arkoun,
Mohammed, 2001, Islam Kontemporer: menuju Dialog antar agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah,
Amin, M., (1999), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Azra,
Azyumardi, 1998, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Tradisi
dan Modernisme Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Barnadib,
Imam, 1994, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Yogyakarta, Andi
Ofset.
Basri,
Ghazali at al, (1991), An Integrated Education System In A
Multifaith and Multi-Cultural Country, Malaysia: Muslim Yuth Movement
Malaysia.
Basuki,
Singgih, A., (1999), “Kesatuan dan Keragaman Agama Dalam Pandangan Hazrat
Inayat Khan”, dalam Jurnal Penelitian Agama, Nomor 21, TH. VIII
Januari-April, h. 151.
Beck,
Clive, (1990), Better Schools: A Value Perspective, Britain: The Falmer Press,
Taylor and Francis ICC.
Bogdan,
Robert, C. and Biklen, Knoop, Sari, Qualitative Research for Education, an
Introduction to Theory and Methode, Boston: Allyn and Bacon, 1993: 2
Bulac,
Ali, 1998, “The Medina Document”, dalam Charles Kurzman (eds.),
Liberal Islam, New York: Oxford University Press.
Darmaningtyas,
(1999), Pendidikan Pada Dan Setelah Krisis, Yogyakarta: 1999.
Dawam,
Ainurrofiq, 2003, Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press.
Dewey,
John, 1916, Democracy and Education, New York: Macmillan.
Durkheim,
E., 1961, Moral Education, New York: The Free Press.
Effendy,
Bachtiar, 2001, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta: Galang
Press.
Engineer,
Ali, Asghar, 2001, On Developing Theology of Peace In Islam, Islam and
Modernity. Oktober.
Esack,
Farid, 2000, Qur’an, Liberation, and Pluralism, Diterjemahkan oleh: Watung A.
Budiman, Bandung: Mizan.
Faruqi,
Isma’il dan al-Faruqi, Lamnya, Lois, 1986, The Cultural Atlas of Islam,
New York: Macmillan Publishing Company.
Hasan,
Hamid, S., (2000), “Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum
Nasional”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Edisi Bulan
Januari-November, h. 510-524.
Hick,
John, Philosophy of Religion, New Delhi: Prentice Hall, 1963.
Hidayat,
Komaruddin, 1998, Tragedi Raja Midas, Jakarta: Paramadina.
Khisbiyah,
Yayah at al., (2000), “Mencari Pendidikan Yang Menghargai
Pluralisme” dalam Membangun Masa Depan Anak-anak Kita, Yogyakarta:
Kanisius.
Mouw,
Richard J and Griffon, Sander, 1993, Pluralism and Horizon, Grand
Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company.
Mulkhan,
Munir, Abdul, (2002), Nalar Spritual Pendidikan, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Nasr,
Hossein, Sayyed, (1980), Living Sufism, London: Unwin Paperback.
Rachman,
Munawar, , Budi, (2001), Islam Pluralis, Jakarta: Paramadina.
Rahmat,
Jalaluddin, 1997, Islam Inklusif, Bandung: Mizan.
Rodger,
Alex R., 1982, Educational and Faith in Open Society, Britain: The Handel
Press.
Sealy,
John, (1985), Religious Education Philosophical Perspective, London: George
Allen & Unwin.
Shihab,
Alwi, Islam Inklusif, Bandung: Mizan.
Siradj, Aqiel,
Said, (1999), Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta:
Pustaka Ciganjur.
Smith,
W. C. Toward Theology: Faith and the Comparative History of Religion,
London&Basingstoke: The Macmillan Press, 1981.
Sumartana
at al., (2001), Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tilar,
H. A. R., 2000, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.A
Audrey
& S. Howard Nicholls, dalam Developing a Curriculum: A Practical Guide
New Edition (London: George Allen & Unwin, 1982)
Prof.
S.Nasution, Kurikulum Dan Pengajaran (Bina Aksara, 1989)
Nana
Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Remaja
Rosdakarya, 1997), h. 150-155.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar