MOMO PROFIL

Selasa, 10 Juli 2012

KEBERADAAN MADRASAH PASCA LAHIRNYA UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH

KEBERADAAN MADRASAH PASCA
LAHIRNYA UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH
I.          Pendahuluan
Islam bukanlah sekedar sistem teologi semata, tetapi juga sebagai peradaban yang lengkap, salah satunya adalah mengandung aspek pendidikan.[1] Pengalaman pembangunan di negara-negara maju, khususnya negara-negara di dunia barat, membuktikan berapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikan merupakan penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan.[2] Lahirnya pendidikan karena adanya masyarakat, jadi pendidikan pada mulanya berfungsi sebagai sarana mensosialisasikan nilai dan tradisi yang dianut oleh masyarakat, sehingga wajar ketika keduanya saling mempunyai keterkaitan. Pendidikan dalam pembahasan ini adalah pendidikan Islam yang merupakan salah satu unsur dalam sistem pendidikan masyarakat, yang berhubungan secara timbal balik dan saling tergantung dengan unsur-unsur lainnya. Pendidikan Islam memberi kontribusi terhadap berbagai masalah dalam masyarakat, baik dalam bentuk gagasan konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan.[3]
Adanya kemitraan antara pendidikan Islam dengan masyarakat, mempunyai kedudukan sejajar dan saling menghormati. Wawasan demikian dapat menumbuhkan pandangan dan sikap egaliter serta terbuka dalam masyarakat. Pendidikan Islam peduli terhadap pemeliharaan dan pengembangan masyarakat daerah, yang dapat diwujudkan dengan menyebarluaskan dan memanfaatkan beberapa keunggulan yang dimiliki. Adapun pihak masyarakat dibantu mengenai pengembangan potensi yang telah ada dalam masyarakat dan menggali potensi yang belum ada. Pengkajian tentang hubungan antara pendidikan Islam dengan masyarakat telah lama dilakukan, namun pembicaraan itu tetap relevan, dalam rangka perkembangan potensi masyarakat di era otonomi daerah. Pertanyaan ini penting oleh karena dewasa ini muncul gagasan tentang keterkaitan dan kesepadanan pendidikan dengan masyarakat daerah, tercermin pemilihan kurikulum menjadi dua macam yaitu kurikulum inti berlaku secara nasional dan kurikulum lokal dengan pertimbangan daerah, keseluruhan kedua kurikulum itu disebut kurikulum utuh. Kurikulum lokal dirumuskan oleh pengelola pendidikan dengan mempertimbangkan keterkaitan dan kesepadanan dengan potensi yang tersedia, dan tuntutan ekosistem (alam dan sosial) dalam masyarakat di daerah.[4]
Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menjalankan misinya terlebih di era otonomi daerah adalah tidaklah kecil. Pertama, perubahan orientasi masyarakat suatu daerah. Persiapan menuju industrialisasi telah menyebabkan orientasi pendidikan masyarakat berubah dari belajar mencari ilmu menjadi bersifat materialistik. Kedua, perubahan orientasi pendidikan umum lebih diutamakan daripada pendidikan keagamaan. Ketiga, kenyataan bahwa kualitas layanan pendidikan Islam terkesan lebih rendah daripada layanan pendidikan yang diberikan oleh sebagian sekolah umum. Untuk menghadapi perubahan orientasi pendidikan masyarakat tidak ada jalan lain bagi pendidikan Islam kecuali memberikan sesuatu yang diinginkan masyarakat, oleh karena itu kurikulum pendidikan Islam diharapkan agar mampu mentransformasikan potensi daerah, sehingga perlu adanya desentralisasi kurikulum di daerah.[5] Dari beberapa faktor tersebut dalam makalah ini akan dibahas tentang bagaimana keberadaan madrasah setelah keluarnya Undang-Undang tentang otonomi daerah.

II.       Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, kami akan merumuskan beberapa permasalahan diantaranya : Apa hubungan madrasah dengan otonomi daerah dan bagaimana keberadaan madrasah pasca adanya Undang-Undang Otonomi Daerah ?
III.    Pembahasan
1.      Pengertian
a.       Madrasah
Madrasah merupakan isim makan dari “darasa” yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Istilah madrasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan Islam).[6]
Dalam literatur yang lain perkataan madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah tempat belajar (Ibrahim Anis, 1972:280). Padanan madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah, lebih dikhususkan lagi sekolah-sekolah agama Islam (Ensiklopedi Indonesia, 1983:2078). Dalam Shorter Encyclopedia of Islam, diartikan : “Name of an Institution where the Islamic science are studied” (Gibb, 1961:300). Artinya : Nama dari suatu lembaga dimana ilmu-ilmu keislaman diajarkan.
Dengan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah tersebut adalah penekanannya sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Perkataan madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, akan tetapi di Indonesia ditujukan buat sekolah-sekolah yang mempelajari ajaran-ajaran Islam.[7]
Sementara itu Karel A. Steenbrink justru membedakan antara madrasah dan sekolah, dia beralasan bahwa antara sekolah dan madrasah mempunyai ciri yang berbeda. Meskipun demikian, dalam konteks ini beliau cenderung untuk menyamakan antara madrasah dengan sekolah.[8]
Pada saat sekarang ini sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan di madrasam memadukan antara sistem pada pondok pesantren dengan sistem pendidikan yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Hal ini dikarenakan pengaruh dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah, bahkan kemudian lahirlah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern seperti Madarash Ibtidaiyah sama dengan SD, Madrasah Tsanawiyah sama dengan SMP, dan Madrasah Aliyah sama dengan SMA. Perkembangan selanjutnya, pengadaptasian tersebut demikian terpadunya sehingga boleh dikatakan hampir kabur perbedaannya, kecuali pada kurikulum dan nama madrasah yang diembeli dengan Islam.[9]
Tampaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai latar belakang, diantaranya :[10]
1.      Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam
2.      Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum. Misal masalah kesamaan kesempatan kerja dan memperoleh ijazah
3.      Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
4.      Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakuakan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi

b.      Otonomi Daerah
Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri.[11]
2.      Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 tahun 2004
Salah satu dampak positif dari reformasi bidang pemerintahan adalah terjadinya pergeseran paradigma politik pemerintahan dari sentralistis kepada desentralistik, yang diwujudkan dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian di rubah menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Lahirnya produk hukum tentang otonomi daerah tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian daerah di dalam kerangka negara kesatuan RI, karena otonomi tersebut tidak dapat diartikan sebagai suatu kebebasan absolut tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan.[12]
Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang ini diuraikan juga beberapa hal yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Diuraikan juga bahwa pelaksanaan otonomi daerah itu dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Disini sangat dituntut adanya upaya untuk memperdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas peran masyarakat.[13]
Selama ini perhatian pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan agama banyak disebabkan oleh pemahaman, interpretasi, dan implementasi yang tidak komprehensif mengenai keberadaan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana pasal 10 ayat 3 poin (f) yang didalamnya memuat tentang sentralisasi masalah “agama” oleh Pemerintah (pusat). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan urusan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh pemerintah kepada daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan dalam menumbuh kembangkan kehidupan keagamaan.”
Atas dasar pasal tersebut, banyak pemerintah daerah yang memahami bahwa penyelenggaraan pendidikan agama dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat cq. Departemen Agama Republik Indonesia. Padahal jika merujuk pada pasal 14 ayat (1) yang dikaitkan poin (f) dalam pasal tersebut adalah “penyelenggaraan pendidikan”. Karena keterbatasan kemampuan Pemerintah Pusat dan adanya anggapan bahwa pendidikan agama bukan wewenang Pemerintah Daerah, menyebabkan pendidikan agama menjadi terabaikan, dan cenderung tidak diperhatikan, baik dalam konteks pembinaan tenaga guru, tenaga kependidikan, desain kurikulum dan juga pendanaan penyelenggaraan pendidikan agama di daerah. Dengan demikian masalah pendidikan agama dan keagamaan yang dikelola Departemen Agama menjadi posisi yang remang-remang sehingga dapat merugikan berbagai pihak, terutama para penyelenggara dan peserta didik di lingkungan Departemen Agama.[14]

3.      Hubungan antara Madrasah dan Otonomi Daerah
Pendidikan adalah salah satu bidang yang diotonomkan dari sekian banyak bidang lainnya. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan menuntut adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan, beberapa dampak dari sentralisasi pendidikan telah munculdi Indonesia uniformitas. Uniformitas ini mematikan inisiatif dan kreativisme serta inovasi perorangan maupun masyarakat (Tilaar, 1999:89). Ditengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia sangat perlu dihargai adanya sisi perbedaan yang tidak mesti seragam, karena keberadaan masyarakat mejemuk itu menuntut untuk adanya berbagai perbedaan yang merangsang untuk tumbuhnya kreativitas dan inovasi.[15]
Dengan dilaksanakannya otonomi daerah di bidang pendidikan ini, bisa dicapai tiga tujuan, seperti yang dikutip oleh Imam Prihadiyoko dari Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan Nasional, ketika menjelaskan tentang Dewan Sekolah, yaitu : 1. Untuk mendorong melakukan pemberdayaan masyarakat, 2. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, dan 3. Peningkatan peran serta masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi DPRD (Imam Priyahadiyoko, Kompas, 2000:10-17).
Selain itu otonomi daerah juga memberikan peluang kepada pengelola pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Pertama, pengelola pendidikan memiliki peluang untuk merumuskan tujuan institusi masing-masing mengacu pada tujuan nasional. Kedua, pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk merumuskan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan kebutuhan masyarakat suatu daerah. Ketiga, pengelola pendidikan memiliki peluang untuk menciptakan situasi belajar dan mengajar yang mendukung pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan. Keempat, pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk mengembangkan sistem evaluasi yang dipandang tepat dan akurat, baik terhadap prestasi belajar siswa maupun terhadap keseluruhan penyelenggaraan pendidikan. Adapun strategi pengembangan otonomi daerah dalam dunia pendidikan hendaknya pembuat kebijakan pengembangan kurikulum mengacu pada filosofi daerah setempat dan memperhatikan asas masyarakat, ilmu pengetahuan dan psikologis.[16]

4.      Keberadaan Madrasah Pasca Otonomi Daerah
Sejalan dengan perkembangan Indonesia, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam juga terus berkembang namun perkembangan itu cukup eksklusif, di mana aksentuasi pada pengetahuan keagamaan (Islam) lebih diutamakan. Hal ini juga yang menyebabkan perkembangan madrasah hanya pada kantong-kantong masyarakat Islam. Ekspansi yang dilakukan pun hanya berkisar di daerah pedesaan sedangkan untuk di perkotaan sangat jarang. Dan hal ini juga yang memicu lambannya perkembangan madrasah, madrasah seakan jauh dari atmosfer pembaruan sistem pendidikan, baik secara kelembagaan maupun sistem dari proses pembelajaran itu sendiri.[17]
Kebijakan pengelolaan pendidikan Islam, sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan pelaksanaan pendidikan secara umum, karena sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, pelaksanaan pendidikan Islam di derah masih saja mendapatkan perlakuan yang “diskriminatif” dari pemerintah daerah. Hal ini banyak disebabkan masih belum komprehensifnya pemahaman pemerintah daerah pada terminologi “pendidikan” dan “agama” yang termuat dalam kedua Undang-Undang tersebut, sehingga banyak memunculkan penafsiran secara parsial bahwa yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Sementara, pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Agama yang berbentuk madrasah dan sekolah agama lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari pendidikan. Dengan diberlakukannya UU otonomi daerah, maka secara eksplisit pelaksanaan pendidikan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi juga sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, baik dalam konteks bimbingan maupun dalam konteks subsidi pendanaan pendidikan. [18]
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, pendidikan memerlukan pola pembiayaan yang tidak diskriminatif dan harus mencerminkan keadilan. Hal ini dapat ditempuh dengan cara melakukan subsidi silang, imbal swadaya, block grant, dan menerapkan formula subsidi kontekstual. Subsidi silang harus dilakukan pemerintah pusat untuk menghindari timbulnya kesenjangan antara sekolah (madrasah) daerah miskin dan daerah kaya. Imbal swadaya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah untuk mendorong berkembang dan meningkatnya program-program yang menjadi unggulan pussat dan daerah. Blog Grand dapat di berikan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas program yang memiliki prospek untuk berkembang lebih lanjut dengan cara berkompetisi. Pelaksanaan otonomi pendidikan ini sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan pada UU no. 32 tathun 2004 tentang pemerintahan daerah terutama terkait dengan pendanaan dan pembiyaan pendidikan. berdasaUU tersebut , maka kebijakan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab pememrintah daerah, yang sebelumnya hanya pendidikan dasar (SD/MI, SMP/MTs) yang berada di bawah naungan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan Nasional.[19]
Bertolak dari arah baru paradigma pendidikan, maka perlu pemberdayaan madrasahyang dapat dilaksanakan lewat :[20]
a.       Pemberdayan Management, meliputi pemberdayaan SDM, Manusia pengelola pendidikan, Kepala Sekolah, Guru, Tenaga Administrasi dan lain sebagainya sehingga siap memasuki era management berbasis sekolah.
b.      Pemberdayaan Sistemnya dari sistem Top Down ke sistem Bottom Up  atau sentralisasi ke desentralisasi.
c.       Pemberdayaan Kebijakan, dari kebijakan yang memarjinalkan madrasah kepada kebijakan yang membawa madrasah ke center.
d.      Pemberdayaan Masyarakat, dimana melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta di dalam pemberdayaan madrasah, yaitu dengan cara meningkatkan peran serta stakeholder dan akuntabilitas.
Ada beberapa pendapat tentang kedudukan madrasah di era otonomi daerah ini, diantaranya :[21]
a.       Madrasah tetap di bawah naungan Departemen Agama. Semangat ini didasari atas idealisasi yang tinggi. Selain dari itu bahwa Departemen Agama adalah departemen yang tidak diotonomikan, maka termasuk jugalah didalamnya pendidikan agama
b.      Madrasah di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah. Argumennya adalah karena masalah pendidikan sudah diotonomikan, maka dikhawatirkan pendidikan di lingkungan madrasah yang selama ini sudah tertinggal dibanding dengan sekolah umum akan semakin tertinggal. Oleh karena itu, madrasah sebaiknya berada dalam lingkungan Dinas Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah agar memperoleh fasilitas dan perhatian Pemerintah Daerah sama seperti yang diberlakukan Pemerintah Daerah terhadap sekolah
c.       Adanya pembagian wewenang antara Departemen Agama dan pemerintah Daerah, yang mana tehnis-tehnisnya akan diatur tersendiri.

IV.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditari kesimpulan bahwa madrasah, sebagai bagian dari pendidikan keagamaan yang lahir dari bagian masyarakat menjadi sebuah dilema manakala keberadaannya tidak diperhatikan. Walaupun banyak persoalan menyangkut keberadaan madrasah, baik menyangkut kesiapan SDM, manajemen, pembiayaan dan sebagainya, namun semua itu dapat diatasi ketika semua pihak bersatu padu memberikan kontribusi positif demi sebuah kemajuan bersama. Ide pengembangan tersebut tidak saja diperlukan dari masyarakat setempat, namun dari semua lapisan masyarakat di penjuru Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, orang tua siswa, dan terlebih lagi sikap pemerintah dalam membuat kebijakan tidak lagi diskriminatif, karena bagaimanapun juga madrasah adalah bagian integratif dari pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib, Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosifik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Trigenda Karya, Bandung, 1993
Daulay, Haidar Putra, Prof., Dr., H., MA., Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana Prenada, Jakarta, 2009
-------------------, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004
Djunaedi, Mahfud, Drs., M. Ag., Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Hasbullah, Drs., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah dan Pertumbuhan dan Perkembangan, PT raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999
Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2004
Steenbrink, Karel, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1986
Suwito, Prof., Dr., MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana Prenada, Jakarta, 2008
Ubaedillah, A., Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007
Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1999
Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Sinar Grafika
, Jakarta, 2004
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraff Publishing, Yogyakarta, 2000



[1] Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2004, hal.1
[2] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraff Publishing, Yogyakarta, 2000, hal. 94
[3] Mahfud Djunaedi, Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal. 133
[4] Ibid, hal. 134-135
[5] Ibid, hal. 142
[6] WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hal.618
[7] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, 2009,hal. 94
[8] Hasbullah, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 160
[9] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hal. 170-171
[10] Muhaimin Abdul mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Trigenda, Bandung, 1993, hal. 305
[11] A. Ubaedillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat madani, ICCE, UIN Syarif hidayatullah, Jakarta, 2007, hal. 170
[12] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta, 2008
[13] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.64
[14] Suwito, Opcit, hal. 287
[15] Haidar Putra Daulay, Opcit, hal. 65
[16] Mahfud Djunaedi, Opcit, hal. 151
[17] Suwito, Opcit, hal. 292
[18] Ibid, hal. 299
[19] Ibid, hal 300
[20] Haidar Putra Daulay, Opcit, hal. 62
[21] Ibid, hal. 61

1 komentar: