KEBERADAAN MADRASAH PASCA
LAHIRNYA UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH
I. Pendahuluan
Islam
bukanlah sekedar sistem teologi semata, tetapi juga sebagai peradaban
yang lengkap, salah satunya adalah mengandung aspek pendidikan.[1]
Pengalaman pembangunan di negara-negara maju, khususnya negara-negara
di dunia barat, membuktikan berapa besar peran pendidikan dalam proses
pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikan merupakan
penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan.[2]
Lahirnya pendidikan karena adanya masyarakat, jadi pendidikan pada
mulanya berfungsi sebagai sarana mensosialisasikan nilai dan tradisi
yang dianut oleh masyarakat, sehingga wajar ketika keduanya saling
mempunyai keterkaitan. Pendidikan dalam pembahasan ini adalah pendidikan
Islam yang merupakan salah satu unsur dalam sistem pendidikan
masyarakat, yang berhubungan secara timbal balik dan saling tergantung
dengan unsur-unsur lainnya. Pendidikan Islam memberi kontribusi terhadap
berbagai masalah dalam masyarakat, baik dalam bentuk gagasan
konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan.[3]
Adanya
kemitraan antara pendidikan Islam dengan masyarakat, mempunyai
kedudukan sejajar dan saling menghormati. Wawasan demikian dapat
menumbuhkan pandangan dan sikap egaliter serta terbuka dalam
masyarakat. Pendidikan Islam peduli terhadap pemeliharaan dan
pengembangan masyarakat daerah, yang dapat diwujudkan dengan
menyebarluaskan dan memanfaatkan beberapa keunggulan yang dimiliki.
Adapun pihak masyarakat dibantu mengenai pengembangan potensi yang telah
ada dalam masyarakat dan menggali potensi yang belum ada. Pengkajian
tentang hubungan antara pendidikan Islam dengan masyarakat telah lama
dilakukan, namun pembicaraan itu tetap relevan, dalam rangka
perkembangan potensi masyarakat di era otonomi daerah. Pertanyaan ini
penting oleh karena dewasa ini muncul gagasan tentang keterkaitan dan
kesepadanan pendidikan dengan masyarakat daerah, tercermin pemilihan
kurikulum menjadi dua macam yaitu kurikulum inti berlaku secara nasional
dan kurikulum lokal dengan pertimbangan daerah, keseluruhan kedua
kurikulum itu disebut kurikulum utuh. Kurikulum lokal dirumuskan oleh
pengelola pendidikan dengan mempertimbangkan keterkaitan dan kesepadanan
dengan potensi yang tersedia, dan tuntutan ekosistem (alam dan sosial)
dalam masyarakat di daerah.[4]
Tantangan
yang dihadapi oleh masyarakat dalam menjalankan misinya terlebih di era
otonomi daerah adalah tidaklah kecil. Pertama, perubahan orientasi
masyarakat suatu daerah. Persiapan menuju industrialisasi telah
menyebabkan orientasi pendidikan masyarakat berubah dari belajar mencari
ilmu menjadi bersifat materialistik. Kedua, perubahan orientasi
pendidikan umum lebih diutamakan daripada pendidikan keagamaan. Ketiga,
kenyataan bahwa kualitas layanan pendidikan Islam terkesan lebih rendah
daripada layanan pendidikan yang diberikan oleh sebagian sekolah umum.
Untuk menghadapi perubahan orientasi pendidikan masyarakat tidak ada
jalan lain bagi pendidikan Islam kecuali memberikan sesuatu yang
diinginkan masyarakat, oleh karena itu kurikulum pendidikan Islam
diharapkan agar mampu mentransformasikan potensi daerah, sehingga perlu
adanya desentralisasi kurikulum di daerah.[5]
Dari beberapa faktor tersebut dalam makalah ini akan dibahas tentang
bagaimana keberadaan madrasah setelah keluarnya Undang-Undang tentang
otonomi daerah.
II. Rumusan Masalah
Dari
uraian di atas, kami akan merumuskan beberapa permasalahan diantaranya :
Apa hubungan madrasah dengan otonomi daerah dan bagaimana keberadaan
madrasah pasca adanya Undang-Undang Otonomi Daerah ?
III. Pembahasan
1. Pengertian
a. Madrasah
Madrasah merupakan isim makan dari “darasa”
yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Istilah madrasah ini
sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama
perguruan Islam).[6]
Dalam
literatur yang lain perkataan madrasah berasal dari bahasa Arab yang
artinya adalah tempat belajar (Ibrahim Anis, 1972:280). Padanan madrasah
dalam bahasa Indonesia adalah sekolah, lebih dikhususkan lagi
sekolah-sekolah agama Islam (Ensiklopedi Indonesia, 1983:2078). Dalam Shorter Encyclopedia of Islam, diartikan : “Name of an Institution where the Islamic science are studied” (Gibb, 1961:300). Artinya : Nama dari suatu lembaga dimana ilmu-ilmu keislaman diajarkan.
Dengan
keterangan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah tersebut adalah
penekanannya sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.
Perkataan madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara
umum, akan tetapi di Indonesia ditujukan buat sekolah-sekolah yang
mempelajari ajaran-ajaran Islam.[7]
Sementara
itu Karel A. Steenbrink justru membedakan antara madrasah dan sekolah,
dia beralasan bahwa antara sekolah dan madrasah mempunyai ciri yang
berbeda. Meskipun demikian, dalam konteks ini beliau cenderung untuk
menyamakan antara madrasah dengan sekolah.[8]
Pada
saat sekarang ini sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan di
madrasam memadukan antara sistem pada pondok pesantren dengan sistem
pendidikan yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Hal ini dikarenakan
pengaruh dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan
kebangkitan nasional bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran
umum masuk ke dalam kurikulum madrasah, bahkan kemudian lahirlah
madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk
sekolah modern seperti Madarash Ibtidaiyah sama dengan SD, Madrasah
Tsanawiyah sama dengan SMP, dan Madrasah Aliyah sama dengan SMA.
Perkembangan selanjutnya, pengadaptasian tersebut demikian terpadunya
sehingga boleh dikatakan hampir kabur perbedaannya, kecuali pada
kurikulum dan nama madrasah yang diembeli dengan Islam.[9]
Tampaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai latar belakang, diantaranya :[10]
1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam
2. Usaha
penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah sistem pendidikan yang
lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan
sekolah umum. Misal masalah kesamaan kesempatan kerja dan memperoleh
ijazah
3. Adanya
sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang
terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
4. Sebagai
upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang
dilakuakan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil
akulturasi
b. Otonomi Daerah
Otonomi
dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan dalam
makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan
demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika
daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat
dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri.[11]
2. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 tahun 2004
Salah
satu dampak positif dari reformasi bidang pemerintahan adalah
terjadinya pergeseran paradigma politik pemerintahan dari sentralistis
kepada desentralistik, yang diwujudkan dalam Undang-Undang No. 22 tahun
1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian di rubah menjadi Undang-Undang
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Lahirnya produk hukum
tentang otonomi daerah tersebut dimaksudkan untuk menciptakan
kemandirian daerah di dalam kerangka negara kesatuan RI, karena otonomi
tersebut tidak dapat diartikan sebagai suatu kebebasan absolut tanpa
mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan.[12]
Dalam
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang ini diuraikan
juga beberapa hal yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan
dengan memberi kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada
daerah secara proporsional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Diuraikan juga bahwa pelaksanaan otonomi
daerah itu dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Disini sangat dituntut adanya upaya untuk
memperdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas peran
masyarakat.[13]
Selama
ini perhatian pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan
agama banyak disebabkan oleh pemahaman, interpretasi, dan implementasi
yang tidak komprehensif mengenai keberadaan UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah sebagaimana pasal 10 ayat 3 poin (f) yang didalamnya
memuat tentang sentralisasi masalah “agama” oleh Pemerintah (pusat).
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan urusan
agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara
nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama,
menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan
sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala
nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Khusus di bidang keagamaan
sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh pemerintah kepada daerah
sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan dalam menumbuh kembangkan
kehidupan keagamaan.”
Atas
dasar pasal tersebut, banyak pemerintah daerah yang memahami bahwa
penyelenggaraan pendidikan agama dianggap menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat cq. Departemen Agama Republik Indonesia. Padahal jika
merujuk pada pasal 14 ayat (1) yang dikaitkan poin (f) dalam pasal
tersebut adalah “penyelenggaraan pendidikan”. Karena keterbatasan
kemampuan Pemerintah Pusat dan adanya anggapan bahwa pendidikan agama
bukan wewenang Pemerintah Daerah, menyebabkan pendidikan agama menjadi
terabaikan, dan cenderung tidak diperhatikan, baik dalam konteks
pembinaan tenaga guru, tenaga kependidikan, desain kurikulum dan juga
pendanaan penyelenggaraan pendidikan agama di daerah. Dengan demikian
masalah pendidikan agama dan keagamaan yang dikelola Departemen Agama
menjadi posisi yang remang-remang sehingga dapat merugikan berbagai
pihak, terutama para penyelenggara dan peserta didik di lingkungan
Departemen Agama.[14]
3. Hubungan antara Madrasah dan Otonomi Daerah
Pendidikan
adalah salah satu bidang yang diotonomkan dari sekian banyak bidang
lainnya. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan menuntut adanya
desentralisasi pengelolaan pendidikan, beberapa dampak dari sentralisasi
pendidikan telah munculdi Indonesia uniformitas. Uniformitas ini
mematikan inisiatif dan kreativisme serta inovasi perorangan maupun
masyarakat (Tilaar, 1999:89). Ditengah-tengah masyarakat yang majemuk
seperti Indonesia sangat perlu dihargai adanya sisi perbedaan yang tidak
mesti seragam, karena keberadaan masyarakat mejemuk itu menuntut untuk
adanya berbagai perbedaan yang merangsang untuk tumbuhnya kreativitas
dan inovasi.[15]
Dengan
dilaksanakannya otonomi daerah di bidang pendidikan ini, bisa dicapai
tiga tujuan, seperti yang dikutip oleh Imam Prihadiyoko dari Inspektur
Jenderal Departemen Pendidikan Nasional, ketika menjelaskan tentang
Dewan Sekolah, yaitu : 1. Untuk mendorong melakukan pemberdayaan
masyarakat, 2. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, dan 3. Peningkatan
peran serta masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi DPRD (Imam
Priyahadiyoko, Kompas, 2000:10-17).
Selain itu otonomi daerah juga memberikan peluang kepada pengelola pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Pertama, pengelola pendidikan memiliki peluang untuk merumuskan tujuan institusi masing-masing mengacu pada tujuan nasional. Kedua,
pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk merumuskan dan
mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan kebutuhan masyarakat
suatu daerah. Ketiga, pengelola pendidikan memiliki peluang untuk
menciptakan situasi belajar dan mengajar yang mendukung pelaksanaan dan
pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan. Keempat, pengelola
pendidikan memiliki otonomi untuk mengembangkan sistem evaluasi yang
dipandang tepat dan akurat, baik terhadap prestasi belajar siswa maupun
terhadap keseluruhan penyelenggaraan pendidikan. Adapun strategi
pengembangan otonomi daerah dalam dunia pendidikan hendaknya pembuat
kebijakan pengembangan kurikulum mengacu pada filosofi daerah setempat
dan memperhatikan asas masyarakat, ilmu pengetahuan dan psikologis.[16]
4. Keberadaan Madrasah Pasca Otonomi Daerah
Sejalan
dengan perkembangan Indonesia, madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam juga terus berkembang namun perkembangan itu cukup eksklusif, di
mana aksentuasi pada pengetahuan keagamaan (Islam) lebih diutamakan. Hal
ini juga yang menyebabkan perkembangan madrasah hanya pada
kantong-kantong masyarakat Islam. Ekspansi yang dilakukan pun hanya
berkisar di daerah pedesaan sedangkan untuk di perkotaan sangat jarang.
Dan hal ini juga yang memicu lambannya perkembangan madrasah, madrasah
seakan jauh dari atmosfer pembaruan sistem pendidikan, baik secara
kelembagaan maupun sistem dari proses pembelajaran itu sendiri.[17]
Kebijakan
pengelolaan pendidikan Islam, sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan
kebijakan pelaksanaan pendidikan secara umum, karena sesuai dengan UU
No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, pelaksanaan
pendidikan Islam di derah masih saja mendapatkan perlakuan yang
“diskriminatif” dari pemerintah daerah. Hal ini banyak disebabkan masih
belum komprehensifnya pemahaman pemerintah daerah pada terminologi
“pendidikan” dan “agama” yang termuat dalam kedua Undang-Undang
tersebut, sehingga banyak memunculkan penafsiran secara parsial bahwa
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah pendidikan yang berada
di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Sementara, pendidikan
yang berada di bawah naungan Departemen Agama yang berbentuk madrasah
dan sekolah agama lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari
pendidikan. Dengan diberlakukannya UU otonomi daerah, maka secara
eksplisit pelaksanaan pendidikan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat tetapi juga sudah menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah, baik dalam konteks bimbingan maupun dalam konteks subsidi
pendanaan pendidikan. [18]
Dalam
konteks pelaksanaan otonomi daerah, pendidikan memerlukan pola
pembiayaan yang tidak diskriminatif dan harus mencerminkan keadilan. Hal
ini dapat ditempuh dengan cara melakukan subsidi silang, imbal swadaya,
block grant, dan menerapkan formula subsidi kontekstual. Subsidi silang
harus dilakukan pemerintah pusat untuk menghindari timbulnya
kesenjangan antara sekolah (madrasah) daerah miskin dan daerah kaya.
Imbal swadaya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh
pemerintah daerah untuk mendorong berkembang dan meningkatnya
program-program yang menjadi unggulan pussat dan daerah. Blog Grand
dapat di berikan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan
kualitas program yang memiliki prospek untuk berkembang lebih lanjut
dengan cara berkompetisi. Pelaksanaan otonomi pendidikan ini sejalan
dengan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan pada UU no. 32 tathun 2004
tentang pemerintahan daerah terutama terkait dengan pendanaan dan
pembiyaan pendidikan. berdasaUU tersebut , maka kebijakan pengelolaan
pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab pememrintah daerah,
yang sebelumnya hanya pendidikan dasar (SD/MI, SMP/MTs) yang berada di
bawah naungan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan Nasional.[19]
Bertolak dari arah baru paradigma pendidikan, maka perlu pemberdayaan madrasahyang dapat dilaksanakan lewat :[20]
a. Pemberdayan
Management, meliputi pemberdayaan SDM, Manusia pengelola pendidikan,
Kepala Sekolah, Guru, Tenaga Administrasi dan lain sebagainya sehingga
siap memasuki era management berbasis sekolah.
b. Pemberdayaan Sistemnya dari sistem Top Down ke sistem Bottom Up atau sentralisasi ke desentralisasi.
c. Pemberdayaan Kebijakan, dari kebijakan yang memarjinalkan madrasah kepada kebijakan yang membawa madrasah ke center.
d. Pemberdayaan
Masyarakat, dimana melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta
di dalam pemberdayaan madrasah, yaitu dengan cara meningkatkan peran
serta stakeholder dan akuntabilitas.
Ada beberapa pendapat tentang kedudukan madrasah di era otonomi daerah ini, diantaranya :[21]
a. Madrasah
tetap di bawah naungan Departemen Agama. Semangat ini didasari atas
idealisasi yang tinggi. Selain dari itu bahwa Departemen Agama adalah
departemen yang tidak diotonomikan, maka termasuk jugalah didalamnya
pendidikan agama
b. Madrasah
di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah.
Argumennya adalah karena masalah pendidikan sudah diotonomikan, maka
dikhawatirkan pendidikan di lingkungan madrasah yang selama ini sudah
tertinggal dibanding dengan sekolah umum akan semakin tertinggal. Oleh
karena itu, madrasah sebaiknya berada dalam lingkungan Dinas Pendidikan
Nasional/Pemerintah Daerah agar memperoleh fasilitas dan perhatian
Pemerintah Daerah sama seperti yang diberlakukan Pemerintah Daerah
terhadap sekolah
c. Adanya pembagian wewenang antara Departemen Agama dan pemerintah Daerah, yang mana tehnis-tehnisnya akan diatur tersendiri.
IV. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat ditari kesimpulan bahwa madrasah, sebagai bagian
dari pendidikan keagamaan yang lahir dari bagian masyarakat menjadi
sebuah dilema manakala keberadaannya tidak diperhatikan. Walaupun banyak
persoalan menyangkut keberadaan madrasah, baik menyangkut kesiapan SDM,
manajemen, pembiayaan dan sebagainya, namun semua itu dapat diatasi
ketika semua pihak bersatu padu memberikan kontribusi positif demi
sebuah kemajuan bersama. Ide pengembangan tersebut tidak saja diperlukan
dari masyarakat setempat, namun dari semua lapisan masyarakat di
penjuru Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, orang tua siswa, dan
terlebih lagi sikap pemerintah dalam membuat kebijakan tidak lagi
diskriminatif, karena bagaimanapun juga madrasah adalah bagian
integratif dari pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib, Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosifik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Trigenda Karya, Bandung, 1993
Daulay, Haidar Putra, Prof., Dr., H., MA., Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana Prenada, Jakarta, 2009
-------------------, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004
Djunaedi, Mahfud, Drs., M. Ag., Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Hasbullah, Drs., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah dan Pertumbuhan dan Perkembangan, PT raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999
Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2004
Steenbrink, Karel, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1986
Suwito, Prof., Dr., MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana Prenada, Jakarta, 2008
Ubaedillah, A., Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007
Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1999
Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Sinar Grafika
, Jakarta, 2004
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraff Publishing, Yogyakarta, 2000
[1] Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2004, hal.1
[2] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraff Publishing, Yogyakarta, 2000, hal. 94
[3] Mahfud Djunaedi, Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal. 133
[4] Ibid, hal. 134-135
[5] Ibid, hal. 142
[6] WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hal.618
[7] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, 2009,hal. 94
[8] Hasbullah, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 160
[9] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hal. 170-171
[10] Muhaimin Abdul mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Trigenda, Bandung, 1993, hal. 305
[11] A. Ubaedillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat madani, ICCE, UIN Syarif hidayatullah, Jakarta, 2007, hal. 170
[12] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta, 2008
[13] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.64
[14] Suwito, Opcit, hal. 287
[15] Haidar Putra Daulay, Opcit, hal. 65
[16] Mahfud Djunaedi, Opcit, hal. 151
[17] Suwito, Opcit, hal. 292
[18] Ibid, hal. 299
[19] Ibid, hal 300
[20] Haidar Putra Daulay, Opcit, hal. 62
terima kasih atas informasi yang sudah di berikan
BalasHapus