BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial
manusia menuju pada tataran ideal. Makna yang terkandung di dalamnya menyangkut
tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya
insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Insan kamil).
Praktik pendidikan kita belakangan ini, disadari atau tidak,
telah terjebak dalam dunia kapitalisme. Penyelenggaraan pendidikan adalah
bagaimana sekolah dapat menjual kharisma dan kebanggaan sebesar-besarnya
sehingga banyak calon siswa membelinya. Penilaian atas kharisma dan kebanggaan
sebuah sekolah sifatnya kapital sehingga pendidikan berbiaya mahal dapat
dibenarkan.
Mahalnya biaya pendidikan di
sekolah-sekolah kita belakangan ini (termasuk sekolah negeri), kini menjadi
momok yang menakutkan. Mahalnya biaya pendidikan tersebut mengakibatkan semakin
jauhnya layanan pendidikan (yang bermutu) dari jangkauan kaum miskin. Dampaknya
akan menciptakan kelas-kelas sosial dan ketidakadilan sosial.
Salah satu budaya yang lahir
dari masyarakat barat adalah pada akhir abad pertengahan yang masih sangat
berpengaruh pada masyarakat modern dewasa ini adalah paham kapitalis, atau yang
lebih akrab disebut kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah budaya sekaligus
sebagai ideology masyarakat barat, mulai sejak lahirnya sampai saat sekarang
ini telah member pangaruh yang cukup besar terhadap segala segi kehidupan
masyarakat, termasuk dalam hal ini segi pendidikan.
Kapitalisme dan materialisme adalah anak
kandung dari moderinisasi, sehingga ketika modernisasi menjamah seluruh lapisan
masyarakat. Maka mau tidak mau, kapitalisme dan materialisme juga ikut
mempengaruhi pola pikir masyarakat. Akibat perubahan pola pikir ini terjadi
perubahan yang sangat radikal atas cara pandang masyarakat terhadap pendidikan
saat ini. Cita-cita luhur pendidikan yang begitu luhur saat ini telah
terabaikan oleh masyarakat. Keinginan untuk melahirkan pribadi-pribadi yang
memiliki kecerdasan emosional/spritual, kecerdasan intelektual serta memiliki
keterampilan tereduksi sedemikian rendanya. Pendidikan pada akhirnya dilihat
oleh masyarakat dari cara pandang materialisme dan kapitalisme.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah ini
adalah sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud dengan kapitalisme pendidikan?
2.
Bagaimana perkembangan kapitalisme pendidikan
sekarang ini?
3.
Bagaimana dampak kapitalisme pendidikan sekarang
ini?
4.
Bagamana solusi dari dampak kapitalisme
pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui maksud pengertian dari kapitalisme pendidikan.
2.
Untuk mengetahui perkembangan kapitalisme
pendidikan sekarang ini.
3.
Untuk mengetahui dapak kapitalisme pendidikan
sekarang ini.
4.
Untuk mengetahui solusi dari dampak kaptalisme
pendidikan.
BAB II
KAPITALISME
PENDIDIKAN
A.
Pengertian
Kapitalisme Pendidikan
Secara etimologi kapitalisme berasal dari kata kapital. Kapital berasal
dari bahasa Latin yaitu capitalis yang sebenarnya diambil dari kata kaput
(bahasa Proto-Indo-Eropa) berarti “kepala”. Arti ini menjadi jelas jika
kita gunakan dalam istilah “pendapatan per kapita” yang berarti pendapatan per
kepala. Juga masih memiliki arti yang sama, ketika dipakai dalam kalimat capital
city (kota utama).
Lantas apa hubungannya dengan “capital” yang sering kita terjemahkan
sebagai “modal”? Konon, kekayaan penduduk Romawi kuno diukur dengan seberapa
banyak caput (kepala) hewan ternak yang ia miliki. Semakin
banyak kaput-nya, maka ia dianggap semakin sejahtera. Tidak mengherankan
jika kemudian mereka mengumpulkan sebanyak-banyaknya kaput untuk
mengembangkan usaha dan mengejar kesejahteraan. Maka menjadi jelas, mengapa
kita menterjemahkan capital sebagai “modal”. Lantas, kita tahu bahwa ism
mengacu kepada “paham”, “ideologi” yang maknanya sudah diterangkan di atas.
Secara terminologi, Kapitalisme berarti suatu paham
yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya dengan bebas untuk
meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu pemerintah tidak dapat
melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah
dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme
pendidikan terjadi apabila prinsip kapitalisme digunakan di dalam sektor
pendidikan, negara tidak membatasi kepemilikan perorangan di dalam sektor
pendidikan, artinya satuan penyelenggara pendidikan dapat dikuasai oleh
perorangan (sektor swasta atau aktor non negara), dimana segala kebijakannya
diatur oleh sektor swasta tersebut. Pengelola sektor pendidikan (pihak swasta)
ini, mulai bersaing antara satu dengan lainnya. Bagi pihak pengelola pendidikan
yang memenangkan persaingan akan mendapatkan pengguna jasa pendidikan lebih
banyak. Modal dari pihak pengelola sektor pendidikan pun akan masuk dan dapat
diakumulasikan. Ketika mengikat maka akan terjadi monopoli, sehingga
penentuan harga (biaya pendidikan) tanpa ada penawaran dan permintaan terlebih
dahulu dengan para pengguna jasa pendidikan. Pengelola pendidikan pun
menawarkan harga (biaya pendidikan) tanpa memikirkan kemampuan dari pihak
pengguna jasa pendidikan. Jelas hal ini akan merugikan bagi pihak pengguna jasa
pendidikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk menawar harga (biaya
pendidikan). Akhirnya, akan muncul kesenjangan-kesenjangan bahwa orang yang
kaya lah yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut. Sedangkan bagi pihak
pengguna jasa pendidikan yang kurang mampu, akan kesulitan dalam mendapatkan
pendidikan tersebut.
B.
Perkembangan Kapitalisme
Pendidikan di Indonesia
Sejak pertengahan decade-20 an, modernisasi pendidikan agama
berlangsung demikian intens. Standarisasi system sekolah, pembakuan kurikulum,
metode pembelajaran mengadopsi metode yang diterapkan oleh sekolah pemerintah,
penerbitan buku-buku teks dilakukan oleh kaum modernis sendiri. Modernisasi
pendidikan agama itu sesungguhnya sudah mewakili kecenderungan terhadap
“sekularisasi”. Salah satu indikatornya adalah mata-mata pelajaran yang umum
(sekuler) terus menerus membengkak dalam komposisi kurikulum lembaga pendidikan
islam.
Perubahan system pendidikan islam itu, di ikuti perubahan
system ekonomi pendidikan dengan mengadobsi system colonial belanda yang
kapitalis, system pendidikan agama lewat surau dan pondok pesantren yang
memperoleh dana dari shodaqoh yang diberikan oleh masyarakat, kini berubah
menjadi madrasah yang harus dibayar oleh keluarga siswa masing-masing dengan
bayaran yang sama tanpa mempertimbangkan tingkat ekonomi keluarga setiap siswa.
Perubahan mendasar lain adalah menyangkut kepemilikan lembaga
pendidikan, jika pesantren atau surau itu adalah milik pendiri dan anak cucunya
secara turun menurun, maka madrasah adalah milik organisasi yayasan atau
pemerintah yang sudah ditentukan system manajemennya.
Madrasah atau sekolah yang dikelola oleh pemerintah dan
yayasan sudah merupakan system pendidikan yang dikomersilkan. Setiap siswa yang
masuk di sekolah tersebut harus membayar uang sekolah, sebagian dari dana
tersebut dimanfaatkan untuk pemeliharaan lembaga, dan sebagaian yang lain
digunakan untuk upah pengelola dana para guru.
Longgarnya persyaratan untuk mendirikan yayasan oleh
pemerintah, menyebabkan menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan swasta yang
komersil, baik sekolah yang berhaluan umum, maupun madrasah dan pesantren
modern, bahkan sampai pada tingkat perguruan tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan
tersebut kadang terlihat sepi dalam hari-hari belajarnya tetapi setiap tahun
mengeluarkan ijazah dalam jumlah yang banyak.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia
pada masa Freire, anak didik tidak dilihat
sebagai yang dinamis
dan punya kreasi tetapi dilihat
sebagai benda yang seperti wadah untuk
menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin
baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh
wadah
itu semakin baiklah
ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritakan oleh gurunya tanpa mengerti.
Murid adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang
disebut oleh Freiren sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya
bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian
kepada para murid tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan.
Peserta didik adalah pengumpul
dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam
melestarikan penindasan terhadap
sesamanya manusia.
Akibatnya sekolah adalah tempat untuk mendapatkan ijazah, karena ijazah
adalah syarat utama untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini berimplikasi pada
sikap dan prilaku baik masyarakat maupun peserta didik yang rela melakukan apa
saja demi mendapatkan ijazah. Tradisi menyontek, plagiat, menyuap, membayar
ijazah, membayar skripsi, dll lahir dari paradigma materialism ini.
Kalau penyelenggara pendidikan swasta yang melakukan pungutan
biaya sesuai dengan keinginan mereka dari para peserta didik, mungkin hal itu
masih bisa dianggap wajar, karena lembaga itulah yang menjadi sumber dana
primer untuk pembiayaan segala aspek yang menggerakkan roda pendidikannya,
termasuk biaya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur sekolah dan para
guru. Tetapi kalau yang melakukannya adalah sekolah-sekolah dibawah naungan
pemerintah, ini yang menjadi masalah yang serius. Dan hal ini menjadi kenyataan
dalam dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini, yaitu adanya kastanisasi
pendidikan.
Inilah yang menjadi bagian kegelisahan dunia pendidikan di
Indonesia dewasa ini, karena pendidikan yang diharapkan menjadi agen dalam
usaha untuk mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia, tetapi kontaminasi oleh
praktek-praktek pendidikan kapitalis, sehingga pendidikan yang diharapkan dapat
membantu masyarakat dalam menemukan solusi terhadap berbagai
persoalan-persoalan social bangsa, tetapi justru pendidikan itu sendiri yang
sering menjadi persoalan social yang sulit diteukan solusinya, seperti
persoalan biayanya, lingkungannya, sarana-prasarananya, kurikulumnya dan
lain-lain.
C.
Dampak
Kapitalisme Pendidikan
Kapitalisme pendidikan telah melahirkan mental yang jauh dari
cita-cita pendidikan sebagai praktik pembebasan dan agenda pembudayaan. Dengan
menjadi pelayan kapitalisme, sekolah saat ini tidak mengembangkan semangat
belajar yang sebenarnya. Sekolah tidak menanamkan kecintaan pada ilmu, atau
mengajarkan keadilan, antikorupsi, atau antipenindasan. Sekolah lebih
menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket demi memperoleh
sertifikat selembar bukti untuk mendapatkan legitimasi bagi individu untuk
memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia. (Illich, 2000).
Dunia pendidikan
telah terlihat wajah buramnya. Pendidikan telah tercerabut dari makna
filosofisnya. Guru kemudian menjadi sosok yang berwajah letih. Dan si murid
menjadi makhluk yang antusias melakukan kekerasan. Mereka menjadi mangsa dunia
industri dengan melahap semua produk yang disodorkan oleh iklan. Kompetisi dan
globalisasi telah menciutkan dunia dari jangkaun manusia. Semua manusia modern
saling berkopentisi melakukan akumulasi modal. Maka tak heran sekolah ibarat
perusahaan katering yang menyediakan layanan menu enak dan siap antar untuk
memenuhi kebutuhan perut. Semua sekolah berlomba untuk memberikan fasilitas yang
lengkap, karena sekolah harus beradabtasi dengan iklim global.
Ada beberapa dampak
yang ditimbulkan akibat terjadinya kapitalisme pendidikan ini. Kebanyakan
dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif. Di bawah ini beberapa dampak
dari kapitalisme pendidikan yaitu sebagai berikut:
1.
Peran
negara dalam pendidikan semakin menghilang.
Hilangnya
peran negara dalam pendidikan, akan berdampak semakin banyaknya kemiskinan yang
ada di negeri ini. Hal ini terjadi dikarenakan banyak anak yang gagal dalam
mengembangkan potensi yang dimilikinya.
2.
Masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi.
Hal ini
terjadi karena pendidikan yang berkualitas hanya bisa dinikmati oleh sekelompok
masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Untuk masyarakat dengan pendapatan
menengah ke bawah kurang bisa mengakses pendidikan tersebut.
3.
Indonesia
juga akan tetap berada dalam kapitalisme global.
Indonesia
akan tetap berada dalam sistem kapitalis global pada berbagai sektor kehidupan
terutama dalam sistem perekonomiannya. Hal ini sudah terbukti, bahwa
kapitalisme tidak hanya berlaku pada sistem perekonomian, namun dalam sistem
pendidikan pun saat ini sudah terpengaruh oleh kapitalisme
4.
Dalam
sistem kapitalis, negara hanya sebagi regulator/ fasilitator
Pada
sistem kapitalis ini, peran negara hanya sebagai regulator/ fasilitator. Yang
berperan aktif dalam sistem pendidikan adalah pihak swasta, sehingga muncul
otonomi-otonomi kampus atau sekolah yang intinya semakin membuat negara tidak
ikut campur tangan terhadap sekolah pendidikan. Hal tersebut berakibat
bahwa sekolah harus kreatif dalam mencari dana bila ingin tetap bertahan.
Mulai dari membuka bisnis hingga menaikan biaya pendidikan, sehingga pendidikan
memang benar-benar dikomersilkan dan sulit dijangkau masyarakat yang kurang
mampu.
5.
Pendidikan
hanya bisa diakses golongan menengah ke atas.
Biaya
pendidikan yang semakin mahal mengakibatkan pendidikan hanya diperuntukan bagi
masyarakat yang mampu sedangkan bagi warga yang kurang mampu merasa kesulitan
dalam memperoleh pendidikan.
6.
Praktik
KKN semakin merajalela.
Biaya
pendidikan yang semakin mahal membuat para orangtua yang memiliki penghasilan
tinggi akan memasukan anaknya dengan memberikan sumbangan uang pendidikan
dengan jumlah yang sangat besar meskipun kecerdasan dari peserta didik tersebut
sangatlah kurang. Sehingga nantinya, uang akan dijadikan patokan lolos atau
tidaknya calon siswa baru diterima di sebuah lembaga pendidikan.
7.
Kapitalisme
pendidikan bertentangan dengan tradisi manusia.
Sistem kapitalis
ini bertentangan dalam hal visi pendidikan yang seharusnya startegi untuk
eksistensi manusia juga untuk menciptakan keadilan sosial, wahana untuk
memanusiakan manusia serta wahana untuk pembebasan manusia, diganti oleh suatu
visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditi.
Tidak ada dampak
positif yang ditimbulkan akibat adanya sistem kapitalisme pendidikan ini. Semua
dampak tersebut bermula karena adanya privatisasi yaitu penyerahan tanggung
jawab pendidikan ke pihak swasta. Yang menyebabkan lembaga pendidikan dikelola oleh
pihak swasta dan tentunya pemerintah sudah tidak ikut campur tangan dalam
pengelolaan sistem pendidikan.
Disini peran
pemerintah hanya sebagai regulator/ fasilitator dan kebijakan sepenuhnya
diserahkan ke pihak swasta. Dari dampak-dampak yang telah dipaparkan, dapat
disimpulkan bahwa dampak akibat penerapan kapitalisme dalam sistem pendidikan
di Indonesia menyebabkan pemerataan pendidikan kurang merata, karena masih
banyak warga yang belum bisa mengakses dan mendapatkan pendidikan. Hal tersebut
dikarenakan semakin mahalnya biaya pendidikan yang tidak dapat dijangkau oleh
sebagian kalangan masyarakat.
D.
Solusi Kapitalisme
Pendidikan
Dari dampak-dampak
tersebut ada beberapa solusi yang bisa diterapkan, guna untuk mengurangi
terjadinya penerapan kapitalisme pendidikan. Secara garis besar ada dua solusi
yang bisa diberikan yaitu:
1.
Solusi
sistemik
Yaitu solusi dengan
mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti
diketahui bahwa sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang
diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam
konteks sistem ekonomi kapitalis yang berprinsip antara lain meminimalkan peran
dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka untuk solusi-solusi
masalah yang ada khususnya yang ada hubungannya dengan mahalnya biaya
pendidikan, berarti yang harus dirubah adalah sistem ekonominya. Karena kurang
efektif jika kita menerapkan sistem pendidikan islam dalam keadaan sistem
ekonomi kapitalis saat ini. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan
dan diganti dengan sistem ekonomi islam yang menyebutkan bahwa pemerintahlah
yang akan menanggung segala pembiayaan negara. Seperti yang tercantum pada
Undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, begitu
juga dengan Undang-undang nomor 20 tentang Undang-undang sistem pendidikan
nasional (USPN) pasal 46 yang menyatakan bahwa “pendanaan pendidikan menjadi
tanggungjawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat”. Hal ini
berarti bahwa sumber pendanaan atau biaya pendidikan bukan hannya dibebankan
kepada orangtua saja, namun juga menjadi tanggungjawab pemerintah. Sehingga
yang diharapkan dari sini adalah bahwa pemerintah tidak hanya sekedar membuat
peraturan ataupun perundang-undangan, namun pemerintah juga harus bisa
merealisasikan dan mewujudkan hal tersebut.
2.
Solusi
teknis
Yaitu solusi untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan. Bahwa secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk
mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang
diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah. Dengan
adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahakan dapat menyelesaikan
permasalahan pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh
masyarakat pada usia sekolah dan yang belum sekolah baik untuk tingkat
pendidikan dasar (SD-SMP) maupun pendidikan menengah (SMA).
BAB III
PENUTUP
Ø Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Secara etimologi kapitalisme berasal dari
kata kapital. Kapital berasal dari bahasa Latin yaitu capitalis yang
sebenarnya diambil dari kata kaput (bahasa Proto-Indo-Eropa) berarti
“kepala”. Arti ini menjadi jelas jika kita gunakan dalam istilah “pendapatan
per kapita” yang berarti pendapatan per kepala. Juga masih memiliki arti yang
sama, ketika dipakai dalam kalimat capital city (kota utama).
2. Kapitalisme pendidikan terjadi apabila prinsip kapitalisme
digunakan di dalam sektor pendidikan. Dalam sistem kapitalis ini negara tidak
membatasi kepemilikan perorangan dalam sektor pendidikan, yang artinya bahwa
satuan penyelenggara pendidikan dapat dikuasai oleh perorangan (sektor swasta
atau aktor non negara), dimana segala kebijakannya diatur oleh sektor swasta
tersebut dan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator tanpa ada ikut
campur dalam pengelolaan pendidikan.
3. Penerapan sistem kapitalis dalam dunia pendidikan ini banyak
menimbulkan dampak yang tidak baik bagi suatu negara. Salah satu dampak yang
paling mendasar adalah biaya pendidikan semakin mahal yang menyebabkan tidak
semua masyarakat bisa mengakses pendidikan, sehingga akan semakin sedikit
kesempatan bagi warga yang kurang mampu dalam memperoleh pendidikan. Akibatnya,
pemerataan pendidikan tidak akan bisa berjalan, karena masih banyak warga yang
tidak mendapatkan kesempatan untuk menempuh jenjang pendidikan.
4. Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia
pada masa Freire, anak didik tidak dilihat
sebagai yang dinamis
dan punya kreasi tetapi dilihat
sebagai benda yang seperti wadah untuk
menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin
baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh
wadah
itu semakin baiklah
ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritakan oleh gurunya tanpa mengerti.
5. Akibatnya sekolah adalah tempat untuk
mendapatkan ijazah, karena ijazah adalah syarat utama untuk mendapatkan
pekerjaan. Hal ini berimplikasi pada sikap dan prilaku baik masyarakat maupun
peserta didik yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan ijazah. Tradisi
menyontek, plagiat, menyuap, membayar ijazah, membayar skripsi, dll lahir dari
paradigma materialism ini.
6. Ada beberapa dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya kapitalisme
pendidikan ini. Kebanyakan dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif. Di
bawah ini beberapa dampak dari kapitalisme pendidikan yaitu sebagai berikut:
a.
Peran
negara dalam pendidikan semakin menghilang.
b.
Masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi.
c.
Indonesia
juga akan tetap berada dalam kapitalisme global.
d.
Dalam
sistem kapitalis, negara hanya sebagi regulator/ fasilitator
e.
Pendidikan
hanya bisa diakses golongan menengah ke atas.
f.
Praktik
KKN semakin merajalela.
g.
Kapitalisme
pendidikan bertentangan dengan tradisi manusia.
7.
Guna
untuk menanggulangi dampak-dampak yang terjadi akibat kapitalisme ini ada dua
solusi yang bisa digunakan yaitu solusi sistemik dan solusi teknis. Jika, kedua
solusi tersebut bisa dijalankan, maka pendidikan di Indonesia pun juga akan
semakin baik. Tidak hanya itu, diharapkan juga ada kerjasama dari
berbagai kalangan masyarakat terutama pihak swasta yang menggunakan sistem
kapitalis ini. jika negara ini semakin maju dan lebih baik terutama dalam hal
pendidikannya, maka seharusnya mereka menerapkan undang-undang dasar 1945 yang
mana isinya sudah sesuai dengan keadaan dan kondisi dari negara ini. seiring
dengan adanya perkembangan zaman ini, dibutuhkan generasi-generasi bangsa yang
mampu bersaing dikancah internasional. Jika bangsa ini masih banyak yang
kesulitan dalam memperoleh pendidikan, bagaimana bisa negara ini bisa bersaing
dengan negara maju yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Illich, Ivan, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah,
penerjemah: A. Sonny Keraf, Yayasan Obor Indonesia : Jakarta, 2000.
http://aanisahfathinah.wordpress.com/2011/12/22/dampak-kapitalisme-terhadap-sistem-pendidikan-di-indonesia/,
di akses tanggal 01 Mei 2012
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3S, 1972.
http://apehonk.wordpress.com/2011/01/17/kapitalisme-pendidikan/,diakses
tanggal 28 April 2012.
Paulo Freire, education
for critical consciousnees, New York: Continum, 1981.
http://www.abatasa.com/forum/isi/1/29/2059-problematika-sistem-pendidikan-indonesia-dan-solusinya-bag-6-culinary.html,
di akses tanggal 28 april 2012.